Gue jarang nulis yang personal. Tapi cerita minggu ini terlalu sayang buat nggak dibagi.
Sekitar 10 minggu lalu, gue dihubungi temen lama — sebut saja “Nadia” (samaran). Kita janjian di kafe. Long story short, dia cerita kalau bisnisnya nyaris bangkrut dan perusahaannya akan dijual.
Kebetulan, gue kenal seseorang yang lini usahanya nyambung: sebut saja “Raka” (samaran). Dua tahun lalu gue hampir ikut invest bareng dia, jadi gue tahu betul operasional & etos kerjanya.
Hari itu juga, gue nelpon Raka dari pabriknya Nadia. Dia tertarik—Nadia fokus produksi, Raka pegang distribusi. Seminggu kemudian kami bertiga ketemu. Klik. Handshake deal.
Karena gue nggak turun tangan operasional dan nggak ikut invest, gue bilang dari awal: “Gue out ya, gue cuma perantara.”
Beberapa minggu berjalan… twist. Skema yang sudah disepakati berubah. HPP nggak transparan, pricing jadi model jual‑beli biasa, bukan pola kemitraan. Raka maunya win‑win: HPP jelas, margin window disepakati, rembug terbuka. “Jangan kayak transaksi PO sekali jalan. Kita bangun channel bareng.”
Sejak titik itu, trust mulai turun. Dan gue keinget satu kejadian yang nyelekit di hidup gue sendiri.
“Kadang, biaya paling mahal dalam bisnis itu bukan rugi di laporan keuangan. Tapi pajak karena ego kita sendiri.”
Beberapa tahun lalu gue hampir ekspor brem kelor ke Afrika Selatan. Jujur: waktu itu gue maruk. Pengen margin lebih karena ini ide gue, produksi gue, merek gue. Kalau saja saat itu gue mau menurunkan ego dan rela margin kecil dulu demi jalan dulu—mungkin ceritanya lain.
Cerita Nadia & Raka bikin gue makin yakin:
Kalau bukan win‑win, lama‑lama jadi lose‑lose.
Di edisi ini, gue mau ngajak lo lihat kasus ini apa adanya—terus kita tarik pelajaran praktis:
Win‑Win or No Deal (Stephen R. Covey) — kapan berhenti itu keputusan paling sehat.
Interests, Not Positions & BATNA (Fisher & Ury) — cara ngobrol yang nggak bikin buntu.
Mini‑Term Sheet 1 halaman — biar ekspektasi nggak ngawang dan kepercayaan ada pegangannya.
Scroll pelan‑pelan. Gue bakal ceritain kronologinya dulu, baru kita pecah jadi prinsip & playbook yang bisa lo pakai di bisnis atau konteks lo sendiri.
Bagian 1 — Kronologi & Titik Konflik (singkat, to the point)
Setting the scene: tiga orang, satu pabrik, satu ide bagus… dan satu ego yang bikin jalannya berat.
Minggu 0 — Kafe.
Nadia curhat: bisnis megap‑megap, kapasitas pabrik ada, pasar seret. Gue hubungkan ke Raka yang kuat di distribusi.
Minggu 1 — Pabrik.
Gue dan Nadia keliling pabrik. Di parkiran, gue telpon Raka. Vibe awalnya positif: “Lo produksi, gue buka channel.”
Minggu 2 — Meeting 3 pihak.
Kesepakatan lisan: peran jelas — Nadia = produksi, Raka = distribusi & demand gen. Uji coba 1 SKU dulu. Pilot 30 hari.
Minggu 3–4 — Due diligence sederhana.
Raka minta angka dasar: HPP range, kapasitas, lead time, MOQ, SLA retur. “Biar kita ngitung unit economics bareng.”
Minggu 5 — Sample & pricing draft.
Produk diuji—ok. Raka share draft margin window untuk distributor (mis. 18–25% bergantung volume) + skema promo.
Minggu 6 — Twist.
Skema berubah sepihak. HPP nggak dibuka, harga ke Raka diposisikan sebagai customer biasa. “Ambil harga segini aja, urusan lo jual lagi berapa.”
Minggu 7 — Friksi.
Raka balik minta struktur win‑win: transparansi komponen HPP, harga ke distributor yang fix, dan ruang negosiasi margin buat grow channel. Jawaban mengambang.
Minggu 8 — Trust turun.
Tekanan naik, chat jadi defensif. Deal yang tadinya partnership pelan‑pelan geser ke pola jual‑beli sekali jalan.
Minggu 9–10 — Pause.
Raka tahan eksekusi sampai ada kejelasan; gue ambil jarak. Kita semua refleksi.
Red Flags (yang baru kerasa setelah jalan)
Scope creep: peran & skema berubah tanpa diskusi formal.
Transparansi rendah: HPP & komponen biaya tidak dibuka (atau disepelekan).
No paper trail: nggak ada term sheet 1 halaman yang ngunci ekspektasi.
Win‑lose framing: lawan bicara diposisikan “buyer vs seller”, bukan partner.
Pilot diloncati: belum ada bukti unit economics, tapi sudah tarik‑ulurkan margin.
“Ketika angka disembunyikan, percakapan berubah dari kolaborasi jadi kecurigaan.”
Kalau skemanya tetap win‑win, bentuknya harusnya begini (versi ringkas)
Peran: Nadia = produksi (quality + lead time). Raka = distribusi (permintaan + kanal).
Transparansi minimum: HPP range + komponen variabel (bahan, tenaga kerja, overhead).
Margin window: mis. 18–25% distributor, disesuaikan volume/promo.
Pilot 30 hari / 1 SKU: target sederhana: validasi unit economics, bukan ngejar omzet.
Ritual kepercayaan: dashboard mingguan (output, retur, stok, penjualan).
Review cadence: rapat 30 menit tiap akhir minggu, revisi kecil kalau ada bottleneck.
Bagian 2 — Prinsip & Playbook (biar kemitraan beneran jalan)
Intinya: kalau bukan win‑win, pelan‑pelan jadi lose‑lose. Jadi sebelum jalan jauh, kita pastikan arah & aturannya jelas.
1) Win‑Win or No Deal (Stephen R. Covey)
“Kalau dua pihak nggak sama‑sama menang, ya udah: no deal dulu. Nanti balik lagi saat syaratnya bisa win‑win.”
Kenapa penting:
Win‑lose itu keliatan cepat, tapi umur kerjasamanya pendek.
Dengan no deal, kita jaga hubungan dan balik lagi ketika angka & peran udah masuk akal buat dua belah pihak.
Terapin di kasus kita:
Raka maunya transparansi HPP + margin yang disepakati. Kalau ini nggak bisa dipenuhi, ya pause sementara. Bukan musuhan, cuma nunda sampai siap.
Mini‑cek 60 detik:
Apakah dua pihak punya ruang untung yang layak?
Apakah peran utama masing‑masing jelas? (Produksi vs Distribusi)
Apakah ada uji coba kecil (pilot) sebelum naikin volume?
Kalau tiga‑tiganya “nggak” → No Deal dulu. Simpel.
2) Interests, Not Positions + BATNA (Fisher & Ury, Getting to Yes)
“Jangan ngotot di angka. Cari dulu kepentingannya apa.”
Bedanya gini:
Position: “Harga segini pokoknya!”
Interest: “Supaya channel jalan sehat, kita butuh cashflow lancar, kualitas stabil, dan marjin yang fair.”
Cara gali “interest” lawan bicara (pakai 6 tanya singkat):
Target 90 hari kita apa? (omzet, uji kanal, atau validasi SKU?)
Risiko yang paling lo takutin apa? (retur, stok ngendon, cash ngadat?)
Marjin minimum berapa biar tim lo semangat jalanin?
Data apa yang wajib dibuka biar kita sama‑sama tenang?
Batas kapasitas & lead time realistisnya?
Sinyal apa yang bikin kita naikkan volume?
Lalu cek BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement):
Kalau deal gagal, masing‑masing masih bisa ngapain?
Punya alternatif kanal lain? Produsen lain? SKU lain?
Semakin kuat BATNA lo, semakin tenang lo pas negosiasi. Nggak reaktif.
Script pendek (DM/WA):
“Biar fair, boleh ya kita list 3 kepentingan utama masing‑masing. Habis itu kita cari angka & skema yang ketemu di tengah. Kalau belum ketemu, nggak apa, kita pause dulu sampe syaratnya siap.”
3) Mini‑Term Sheet 1 Halaman (ngunci ekspektasi biar nggak ngawang)
Bukan kontrak ribet. Cukup satu halaman yang jadi pegangan bareng.
Isi utamanya:
Peran:
Produsen = kualitas, kapasitas, lead time.
Distributor = permintaan, kanal, pembayaran tepat waktu.Transparansi biaya: HPP range + komponen variabel (bahan, tenaga kerja, kemasan, overhead).
Harga & marjin: contoh, marjin distributor 18–25% tergantung volume/promo.
Pilot: 30 hari, 1 SKU dulu. Target: bukti unit economics sehat, bukan ngejar omzet.
KPI sederhana: pengiriman tepat waktu, retur, penjualan bersih.
Ritual cek‑in: update mingguan (sheet bersama), call 30 menit tiap akhir minggu.
Atur konflik: kalau KPI merah 2 minggu berturut‑turut → revisi skema atau pause.
Exit: notice 30 hari, selesaikan PO yang lagi jalan, mekanisme retur stok jelas.
Template cepat (tinggal isi):
Tujuan 30 hari: ______________________________
Peran & tugas inti: _________________________
HPP (range): ________________________________
Marjin window: _____________________________
KPI & target: ______________________________
Jadwal cek‑in: _____________________________
Atur konflik & exit: ________________________
Pro tip: foto/scan term sheet → taruh di folder bersama. Semua keputusan penting dicatat (biar nggak “katanya”).
4) Start Small, Prove Fast (biar nggak drama di belakang)
Mulai dari 1 SKU dan waktu 30 hari.
Tentuin angka “lulus” (contoh: marjin bersih minimal X%, retur <Y%, stok muter tiap Z hari).
Kalau lulus → naik volume pelan. Kalau nggak → benerin skema atau no deal dulu.
5) Checklist “Ego Detox” (2 menit sebelum tanda tangan)
Gue rela turunin marjin sedikit demi channel jalan dulu?
Kalau partner menang, apakah kue ikut membesar buat gue?
Ada data yang seharusnya gue buka tapi masih gue tahan? (kalau iya, kenapa?)
Be greedy about the relationship, not the transaction.
Bagian 3 — Ego Tax & Scarcity Trap (biar hati adem dulu)
Sering kali yang bikin deal mentok bukan angkanya, tapi ego yang nggak mau kompromi.
Kenapa orang jadi maruk waktu negosiasi? Bukan karena jahat—seringnya karena otak kita bias. Ringkasnya gini (terinspirasi dari Dan Ariely, Predictably Irrational):
Sunk Cost
“Sayang udah investasi waktu/uang segini banyak.”
Efek: susah melepas skema lama walau nggak sehat.
Switch: pause 24 jam, tanyakan: “Kalau mulai dari nol hari ini, gue tetap ambil skema ini nggak?”IKEA Effect
Kita overvalue ide/produk yang kita bikin sendiri.
Efek: nahan data (HPP, margin) karena merasa “ini brand gue, hak gue.”
Switch: pakai angka objektif (benchmark biaya, KPI) biar obrolan balik ke fakta, bukan perasaan.Loss Aversion
Takut “rugi” sekarang → minta margin lebih besar, padahal channel belum kebukti.
Efek: partner merasa diporotin; win‑win ambyar.
Switch: ingat BATNA (Fisher & Ury, Getting to Yes), lalu pilot 30 hari. Prove small first.
Mini‑mantra: Talk interests first, numbers later.
Fokus ke kepentingan: cashflow sehat, kualitas stabil, marjin fair.
3 Switch yang gue pegang (praktis banget):
Pause 24 jam sebelum jawab angka-angka penting (harga, margin, kuantitas pesanan). Biar kepala dingin dulu.
Minta angka objektif: range HPP, target KPI, kapasitas/lead time.
Pilot 30 hari + 1 SKU. Kalau hijau, scale. Kalau merah, benerin atau no deal.
Epilog — Brem Kelor, What I’d Do Differently
Gue pernah di posisi Nadia vs Raka versi gue sendiri. Waktu itu gue maruk: pengen margin lebih karena ini ide gue, produksi gue, merek gue. Hasilnya? Opportunity kebuang. Kalau saat itu gue mau jalan dulu dengan margin kecil, pilot dulu, dan buka data yang perlu dibuka, mungkin ceritanya beda. Maybe richer, definitely calmer.
Mulai hari ini, komit gue simple:
Win‑win or no deal. Kalau nggak dua‑duanya menang, gue pause.
Interests, not positions. Tanyain kepentingannya dulu, baru angka.
Start small, prove fast. 1 SKU, 30 hari, KPI jelas.
Win‑win dulu, untung belakangan.
Transparansi hari ini, repeat order besok.
Biarkan Hubungan Menang Dulu
Kalau ada satu hal yang pengen lo bawa pulang dari edisi ini, ya ini: kalau nggak win‑win, mending no deal dulu. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita main panjang. Relationship yang sehat akan menghasilkan keuntungan jangka panjang.
48‑Hour Action Plan (ringkas, bisa langsung jalan):
Kirim 3 pertanyaan ke calon partner: tujuan 30 hari, range marjin, data minimal yang dibuka (HPP range, kapasitas, lead time).
Tulis Term Sheet 7 Baris (peran, HPP range, harga, marjin window, pilot 30 hari, KPI, ritual cek‑in).
Set pilot 30 hari, 1 SKU + KPI lulus. Hijau = scale, merah = benerin atau pause.
Strong line: Win‑win dulu, untung belakangan.
Kalau lo pernah punya cerita kemitraan yang rasanya “mirip” sama Nadia–Raka, send ke DM IG ya. Your story might save someone else’s deal.
Sampai ketemu di edisi berikutnya.
—