Dulu, lo bisa nunjukin nilai diri lewat ijazah, portofolio, atau jabatan. Sekarang? Orang ngeliat siapa lo dari apa yang lo share ke publik. Konten lo bukan sekadar “konten”. Tapi jejak. Bukti.
“You don’t need a resume anymore. Your content is your proof of work.”
– Justin Welsh
Tapi banyak orang gak mulai-mulai karena satu hal:
“Gue belum expert.”
Padahal, di internet, yang jadi kredensial bukan gelar atau validasi eksternal—tapi apa yang lo bagikan secara konsisten.
Dan gue ngalamin sendiri.
Gue gak viral. Gue gak trending. Tapi gara-gara konsisten ngonten:
Gue pernah ditanggapi langsung sama @fellexandro (padahal gue yang ngulik-ngulik konten dia bertahun-tahun.
Gue diajak ngobrol sama @Adjiesantosoputro, sosok yang dulu cuma bisa gue tonton di YouTube.
Gue dapet calon klien dari brand fashion yang pengen brand story-nya dibenerin.
Dan dari situ gue sadar:
Ngonten bukan tentang jadi seleb. Tapi tentang jadi bisa dipercaya.
Newsletter ini gue tulis supaya lo bisa lihat konten dari sisi yang berbeda. Di akhir tulisan ini, lo akan dapet:
Kenapa konten sekarang udah kayak kredensial digital
Bukti bahwa konsistensi bisa bikin lo di-notice
Tiga langkah awal yang realistis buat mulai bangun positioning dari konten
1. Konten = Kredensial Digital
Dulu, kita harus bawa CV, kirim portofolio, ikut seminar, biar bisa dapet validasi. Sekarang? Semua orang bisa bikin panggungnya sendiri.
Konten adalah cara tercepat nunjukin cara lo mikir, cara lo kerja, dan cara lo melihat dunia.
Lo gak harus jadi expert. Tapi kalau lo bisa konsisten dokumentasiin insight, proses, atau perspektif lo—lo udah satu langkah lebih maju dari sebagian besar orang yang masih nunggu 'waktu yang tepat'.
“In the internet age, you’re as valuable as what you’ve published.”
– Daniel Vassallo
Yang paling keren: konten lo tetap bisa ‘kerja’ bahkan saat lo lagi tidur. Di-scroll orang random. Di-search client potensial. Di-forward ke mutuals.
Itu kenapa banyak brand dan kreator besar sekarang lebih percaya liat konten dibanding tanya “pengalaman kerja”.
Konten = jejak berpikir. Dan orang akan mulai percaya dari situ.
Salah satu contoh yang relevan adalah perjalanan Ali Abdaal. Dulu dia cuma dokter muda yang share pengalaman belajar dan produktivitas di YouTube. Gak ada niat jadi influencer. Tapi karena konsisten dan punya clarity dalam menyampaikan value, sekarang dia jadi salah satu creator paling dikenal di dunia edukasi digital, dengan audiens global, brand deals, bahkan nulis buku.
Semua itu dimulai bukan dari personal branding yang wah—tapi dari konten sebagai kredensial digital.
Contoh lainnya, Bayu Skak.
Wong ra nggenah dari Malang yang awalnya cuma bikin konten lucu berbahasa Jawa, iseng-iseng dokumentasiin keresahan dan keseharian.
Tapi karena konsisten, punya gaya khas, dan terus berkembang—sekarang dia udah jadi aktor, sutradara, dan kreator film yang karya-karyanya diputar di layar lebar. Bahkan diundang ke festival-festival film.
Bayu Skak nunjukin kalau konten bisa jadi kendaraan untuk menembus keterbatasan—asal lo sabar, terus belajar, dan muncul terus.
Bukan mulai dari privilege. Tapi mulai dari konsistensi.
2. Konsistensi = Trust Builder
Lo gak harus bikin konten terbaik setiap hari.
Tapi kalau lo muncul terus, dengan pesan yang nyambung, lama-lama lo dianggap serius.
Orang gak percaya sama yang paling rame. Tapi sama yang paling bisa diandalkan.
“People don't follow you because you're good. They follow you because you're there.”
Coba perhatiin akun-akun yang lo suka. Bisa jadi mereka bukan yang paling keren desainnya, bukan yang paling canggih ilmunya. Tapi mereka konsisten, dan lo ngerasa 'kenal'.
Itu yang bikin brand ngelirik. Itu yang bikin audiens nunggu.
Konten bukan cuma soal exposure. Tapi soal familiarity. Dan familiarity lahir dari repetisi yang relevan.
Karena orang baru percaya... kalau mereka sering lihat lo.
Motivation Doesn’t Work
Tapi kenapa banyak orang gak bisa konsisten?
Karena mereka terlalu ngandelin motivasi.
Padahal motivasi itu sifatnya sementara. Hari ini lo semangat, besok lo capek. Hari ini lo inspired, besok lo overthinking. Dan akhirnya? Gak jadi apa-apa.
Dalam bukunya Motivation Doesn’t Work, Benjamin Hardy ngejelasin bahwa kunci perubahan bukan dari niat atau semangat sesaat—tapi dari sistem dan lingkungan yang mendukung.
“Willpower doesn’t work. Environment is what shapes human behavior.”
Dengan kata lain, kalau lo ngandelin mood untuk bikin konten, ya wajar kalau akhirnya sering bolong. Tapi kalau lo bikin sistem—mulai dari sistem ide, sistem eksekusi, sampai sistem publikasi—lo gak perlu nunggu motivasi datang dulu buat bergerak.
Konsistensi bukan soal kuat-kuatan niat. Tapi soal pinter-pinternya bikin sistem.
Makanya gue selalu tekankan pentingnya bangun sistem untuk apapun yang lo lakuin.
Entah itu buat belajar hal baru, ngejalanin body building, atau… konsisten ngonten.
Kalau lo pengen belajar gimana caranya bikin sistem biar bisa tetap konsisten meski lagi sibuk, males, atau gak mood — semua itu gue breakdown di sini:
👉 https://jadipossible.myr.id/
3. Tiga Langkah Awal Bangun Positioning dari Konten
Banyak orang mikir mereka belum layak bikin konten karena belum expert. Padahal, yang lo butuh bukan kredensial, tapi kejelasan positioning.
Positioning itu bukan cuma soal lo siapa, tapi lo pengen dikenal sebagai apa.
Kalau lo bisa bikin orang langsung ngeh:
“Oh, si ini tuh yang sering bahas X dengan cara Y”—
Berarti positioning lo udah mulai terbentuk.
Berikut tiga langkah awal yang realistis buat mulai bangun positioning dari konten:
Step 1. Tentuin "Niche Perspektif", Bukan Sekadar Niche Topik
Topik bisa sama, tapi cara pandang itu yang bikin lo beda.
Misalnya lo bahas personal finance, tapi dari kacamata karyawan gaji UMR. Itu niche perspektif.
Contoh lain: banyak orang bahas konten, tapi lo fokus bantu orang yang “gak pede ngomong di depan kamera” untuk tetap bisa bikin konten yang powerful. Itu niche perspektif juga.
Jadi gak usah khawatir pasar udah ramai. Yang penting: lo punya angle yang unik & relatable.
Step 2. Dokumentasikan Proses, Bukan Cuma Share Teori
Banyak yang stuck karena ngerasa “belum layak ngajarin”.
Solusinya? Gak usah ngajarin. Dokumentasiin aja proses lo.
Apa yang lo pelajari, lo coba, lo gagal, dan lo sadari — semuanya bisa jadi bahan konten.
Model ini disebut document vs create, dan terbukti ngebantu banyak kreator yang mulai dari nol untuk tetap punya bahan konten secara konsisten.
Plus, ini juga bangun trust karena orang bisa lihat journey lo, bukan cuma hasil akhirnya.
Step 3. Pakai Format “Micro-Proof” untuk Bangun Kredibilitas
Lo gak harus viral atau punya 100 ribu followers buat bisa dipercaya.
Yang lo butuh adalah proof kecil tapi nyata.
Contohnya:
“Gue posting 3 minggu rutin, engagement gue naik 40%”
“Gue bikin template ini, dan 2 orang langsung bilang itu bantu banget”
“Gue apply prinsip X, dan klien gue akhirnya repeat order”
Ini yang disebut micro-proof — bukti kecil yang bikin orang percaya kalau lo tahu apa yang lo lakuin.
Dan micro-proof ini jauh lebih powerful dibanding ngasih nasihat kosong atau kutipan motivasi doang.
Dengan tiga langkah ini—niche perspektif, dokumentasi proses, dan micro-proof—lo udah punya fondasi kuat buat ngebangun positioning yang relevan dan bisa dipercaya.
Next up, di edisi berikutnya kalian ingin gue bahas apa? Balas email ini yak!
Stay tuned, dan kalau lo ngerasa tulisan ini relate, jangan ragu share ke temen lo yang lagi pengen mulai bangun brand-nya dari media sosial.
Sampai ketemu minggu depan!
Salam,
Arif @jadipossible